
Tangis Dan Lelah Bu Omih Demi Obati Suami
terkumpul dari target Rp 50.000.000
“Kalau bukan saya yang kerja, siapa lagi? Suami saya sudah nggak bisa apa-apa, cuma bisa nangis sambil mijit pahanya yang bengkak. Kami butuh makan… butuh pengobatan.” – Bu Omih
Bahu Rentanya Tak Sekadar Memikul Dagangan. Tapi Juga Harapan Hidup Suaminya.
Setiap pagi, saat kebanyakan orang seusianya bersantai menyesap teh hangat, Bu Omih (59) justru memanggul pikulan berat berisi dagangan cuanki. Bahunya yang sudah nyeri sejak lama tak lagi sanggup menopang beban itu, tapi ia tak punya pilihan.
“Kalau saya berhenti, suami saya makan apa?” ucapnya pelan, sambil memijit pundak yang sudah lama sakit.
Di rumah, Pak Eman (63), suami tercinta, hanya bisa terbaring. Tumor ganas sebesar kepala bayi tumbuh di paha kirinya dan sejak itu, ia tak bisa berjalan, bahkan berdiri pun nyaris mustahil. Setiap hari, Pak Eman hidup berdampingan dengan nyeri yang luar biasa. Rasa sakit yang bukan hanya menyiksa fisik, tapi juga menghancurkan batin.
“Kalau sakitnya kambuh, saya cuma bisa nangis. Pegang paha saya, mijit-mijit sendiri, nggak tahu harus gimana…” – Pak Eman
Sudah dua tahun mereka bertahan dalam kondisi seperti ini. Pak Eman tak lagi bisa mencari nafkah. Ia sempat mencoba berjualan kopi dengan kursi roda tua miliknya, tapi hanya sebentar karena tumor itu terus membesar, dan rasa sakitnya kian menyiksa. Kini ia hanya bisa duduk atau rebahan, menatap langit-langit rumah sembari menahan air mata.
Bu Omih pun menjadi satu-satunya tulang punggung keluarga.
Meski usianya hampir kepala enam dan fisiknya tak lagi kuat, ia tetap memaksakan diri berjualan. Jika kondisi tubuh mengizinkan, ia keluar dua atau tiga kali seminggu. Kalau tidak, dagangan dibiarkan, dan rumah terasa lebih sunyi dan lebih menekan.
Setiap hari, dari hasil jualan yang paling banyak hanya Rp30.000, Bu Omih harus membaginya untuk kebutuhan rumah, membeli makan, dan jika masih tersisa, ditabung sedikit demi sedikit demi satu harapan yang belum pernah padam yaitu membawa Pak Eman berobat.
Namun impian itu terasa makin jauh. Biaya rumah sakit, pemeriksaan, operasi, dan pengobatan sangat mahal. Sementara mereka nyaris tak punya apa-apa lagi. Barang-barang berharga sudah dijual. Yang tersisa kini hanya rumah tua tempat mereka berteduh.
“Rumah ini satu-satunya yang kami punya. Kalau dijual juga… kami tinggal di mana?” lirih Pak Eman, menahan tangis.
Di tengah keterbatasan itu, Bu Omih memendam satu harapan kecil lainnya, ia ingin memiliki warung sederhana di rumah. Dengan begitu, ia bisa tetap berjualan dari rumah tanpa harus meninggalkan Pak Eman sendirian.
“Saya nggak tenang kalau harus keluar rumah lama-lama. Takut kalau suami saya kesakitan atau butuh bantuan,” ucapnya lirih.
Di usia senja, hidup seharusnya menjadi masa untuk beristirahat, untuk bersyukur atas kerja keras yang telah lalu. Tapi bagi Bu Omih dan Pak Eman, masa tua adalah perjuangan yang lebih berat dari sebelumnya. Bukan hanya melawan penyakit, tapi juga melawan sepi, lapar, dan rasa takut akan esok hari.
Mereka tidak meminta lebih. Hanya sedikit uluran tangan, agar beban hidup mereka tak seberat ini.
Karena setiap detik yang mereka lewati adalah rasa sakit yang terus menyiksa. Hari ini, kamu bisa hadir menjadi bagian dari keajaiban kecil dalam hidup mereka.
Insan Baik, Mereka sudah kehilangan banyak, Jangan biarkan mereka kehilangan harapan.
Mari bersama selamatkan masa tua Bu Omih dan Pak Eman dari derita panjang ini.
Mari jadi penyambung asa, penyelamat di tengah gelap, dan pelipur bagi dua hati yang sedang diuji berat.
Disclaimer : Donasi yang terkumpul akan digunakan untuk modal usaha Bu Omih dan biaya pengobatan Pak eman. Juga akan digunakan untuk penerima manfaat dan program sosial kemanusiaan lainnya dibawah naungan Amal Baik Insani.

Tangis Dan Lelah Bu Omih Demi Obati Suami
terkumpul dari target Rp 50.000.000