Misna lahir dengan kondisi yang berbeda dari orang lain. Tubuhnya lemah, geraknya terbatas, dan jalannya pun tak pernah normal. Namun satu hal yang menakjubkan darinya, Misna tak pernah sekalipun mengeluh. Sejak kecil, hidupnya penuh keterbatasan. Ia tak pernah merasakan sekolah, tak bisa juga bekerja seperti orang lain. Satu-satunya yang selalu ia jaga dan ia cintai sepenuh hati hanyalah ibunya, Mak Sarwinah. Tapi di balik itu, terbesit satu kekhawatiran dalam hatinya – jika suatu saat ibunya tiada, ia harus hidup bersama siapa?

Ibunya kini sudah semakin tua. Tubuhnya lemah, sering sakit, dan tak mampu bergerak tanpa bantuan. Misna lah satu-satunya yang merawat dan menemaninya setiap hari.

Untuk bertahan hidup, Misna bekerja di kebun tetangga. Bukan demi dirinya sendiri, melainkan untuk sang ibu. Ia pun tak dibayar dengan uang. Hasil jerih payahnya hanya diganti dengan apa yang ada – kadang singkong, ubi, atau cabai. Jika hari itu ia beruntung, mereka masih bisa makan. Namun jika tidak, Misna terpaksa meminjam beras pada tetangga. Bahkan tak jarang, mereka hanya mampu menyantap nasi sisa kemarin. Bukan karena mereka mau, melainkan karena hidup tak memberi mereka pilihan lain.

Rumah tempat mereka tinggal pun sudah nyaris tak layak huni. Saat hujan turun, air menetes dari atap yang bocor. Kasur tempat Mak Sarwinah berbaring sering kali basah, hingga harus ditutup terpal seadanya agar ia tetap bisa tidur.

Namun di tengah semua keterbatasan itu, Misna tak pernah menyerah. Ia terus bekerja, merawat ibunya dengan penuh kasih dan ketulusan. Yang ia inginkan sederhana – ia ingin ibunya sembuh. Ia ingin melihat sang ibu bisa makan dengan layak, tinggal di rumah yang tak bocor, dan tidur dengan nyaman setiap malam.

Sayangnya, semua itu tak mungkin ia wujudkan sendiri. Teman Kebaikan, mari kita hadir menjadi harapan untuk Misna dan ibunya. Bersama, kita bantu Misna dan Mak Sarwinah agar dapat hidup lebih layak dan bahagia.