“Tidak masalah sengsara di dunia, tetapi saya ingin senang di akhirat. Saya tidak ingin kaya harta, tetapi ingin kaya hati.”
Banyak muallaf yang harus berjuang untuk istiqomah di wilayah dengan mayoritas non-muslim, meski Islam adalah agama mayoritas di Indonesia. Masing-masing punya cerita menarik, tentang bagaimana mereka mempertahankan imannya sebagai minoritas.
Kampung Muallaf adalah program pendampingan, pengislaman, serta pembinaan untuk muallaf yang terdapat di desa-desa mayoritas non-muslim di Indonesia. Beberapa di antaranya adalah Desa Kertajaya Kab. Cianjur, Desa Sukamulya Kab. Kuningan, dan Desa Mekarwangi Kab. Bandung Barat.
Wilayah yang dicakup program ini seringkali menjadi target pemurtadan sehingga setiap muallaf memiliki cerita uniknya masing-masing, seperti yang diliput oleh tim MyFundAction Indonesia saat mengunjungi 3 kampung muallaf di Jawa Barat.
Pak Tohir (62) dari Desa Kertajaya, Kab. Cianjur, Jawa Barat
Pak Tohir Abdullah dulu dikenal dengan nama Engkus, sebelum menjadi muallaf pada tahun 2000. 5 tahun sejak berpindah keyakinan, Allah menguji beliau dengan perceraian yang diajukan istrinya karena tidak terima dengan keislaman Pak Tohir. Tak hanya itu, beliau juga dijanjikan rumah, motor, dan sejumlah uang oleh adik dan kakaknya dengan syarat kembali ke agama asalnya.
Terang saja, Pak Tohir menolak karena beliau berpikir agama tidak dapat diperjual belikan. Dengan kemantapan hati, Pak Tohir berkata bahwa menjadi muallaf adalah keinginan hatinya sendiri. “Tidak masalah sengsara di dunia, tetapi saya ingin senang di akhirat. Saya tidak ingin kaya harta, tetapi ingin kaya hati,” ujar Pak Tohir dengan penuh keyakinan saat berbincang dengan tim MyFundAction.
Bu Emah (57) dari Desa Kertajaya, Kab. Cianjur, Jawa Barat
Bu Emah merantau dari Ambon ke Jakarta pada tahun 1979 dan melanjutkan sekolah di SMA berbasis agama non-Islam. Setiap hari Jumat, di sekolahnya terdapat pelajaran Agama Islam. Dari sanalah ketertarikan Bu Emah pada Islam bermula, terutama ketika mempelajari Nabi Isa dalam perspektif berbeda. Menurut Bu Emah, Isa sebagai Nabi sangat masuk akal karena beliau sama seperti kita yang harus makan dan minum untuk bertahan hidup sehari-hari.
Oleh sebab itu, di usia 18 tahun Bu Emah diam-diam memutuskan untuk bersyahadat meski tetap pergi ke tempat ibadah bersama keluarganya. Setelah lulus, beliau menikah dengan lelaki muslim yang kemudian ditentang oleh keluarganya selama 2 tahun pertama.
Di tahun 2012, Bu Emah harus merelakan suaminya dipanggil Allah. Hal itu tidak menjadikan beliau kehilangan arah, justru membuat Bu Emah makin tekun dalam mempelajari Islam. Motivasi Bu Emah adalah banyaknya hal logis di dalam Islam, seperti ucapan beliau, “Masa iya kita masuk rumah Allah pakai sandal atau sepatu. Kita bertamu ke rumah orang saja harus lepas (sepatu).”
Demi mendukung ikhtiar saudara semuslim kita, MyFundAction tergerak untuk menyalurkan bantuan ke desa-desa muallaf di Jawa Barat. Bantuan ini berupa program penyaluran alat sholat, bantuan khitan untuk muallaf laki-laki, dan pembinaan keislaman.
Teman-teman MyFundAction, klik “Donasi Sekarang” untuk mendukung program ini, ya!
Rincian Program:
-
Pembinaan keislaman mingguan di 3 Desa (selama 3 bulan)
-
Penyaluran bantuan alat sholat di 3 Desa
-
Bantuan dan pendampingan proses khitan menyesuaikan ketersediaan mualaf laki-laki yang belum berkhitan di 3 Desa
***
Disclaimer:
-
Fundraising ini adalah bagian dari Program MyFundAction yang fokus membantu meringankan permasalahan yang dialami masyarakat.
-
Informasi lebih lengkap dapat menghubungi Instagram @MyFundAction.id
Pembinaan Muallaf Jawa Barat
terkumpul dari target Rp 52.500.000