Tahun 2016 menjadi tahun terakhir Pak Heru bisa melihat dunia. Pak Heru kehilangan penglihatannya karena penyakit Glaukoma.
Menjadi seorang tunanetra, mengubah kehidupan Pak Heru dan keluarga. Dulu Pak Heru bekerja sebagai karyawan swasta di sebuah pabrik, hidup normal layaknya orang yang bisa melihat.
Setelah kehilangan penglihatan, Pak Heru harus mencari pekerjaan lain. Menjadi tukang pijat dan berjualan beras di pasar menjadi profesi utama. Penghasilannya tak seberapa, sekitar 600ribu per bulan, namun Pak Heru tak patah semangat demi menafkahi keluarga.
Kehilangan pekerjaan lamanya, satu tahun kemudian Pak Heru juga harus kehilangan anak bungsunya yang berusia 3 tahun.
“Saya buta ketika bangun pagi di bulan Agustus 2016. Alhamdulillah, saya pernah bisa ‘melek’, saya tau warna merah kuning hijau. Tapi teman-teman saya, banyak yang buta sejak lahir. Wajah mobil, becak mereka ga tau. Bayangkan hidup seperti itu. Saya sih anak kemaren sore. Masih sempet liat dunia. Itu anugerah. Anugerah luar biasa”, ucap Pak Heru.
Namun saat ini Pak Heru tidak bisa lagi berjualan di pasar karena dimasa pandemi seperti ini, sudah tidak diperbolehkan berjualan untuk mengurangi penyebaran Covid 19. Pak Heru pun ingin punya warung sendiri untuk tetap bisa menyambung roda ekonomi.
Rencananya, jika Pak Heru punya warung akan dibangun di kamar pijat yang biasa digunakan karena sekarang tidak terpakai. Selain itu juga sebagai ketua Paguyuban Tunanetra di Purwakarta, Pak Heru punya mimpi besar membantu tunanetra lain dengan mengadakan kegiatan sosial dan agama setiap bulannya.
Yuk Sahabat temani perjuangan Pak Heru dan tunanetra lainnya miliki modal usaha untuk kehidupan lebih baik, klik DONASI SEKARANG.
.
Disclaimer : Donasi yang terkumpul akan digunakan untuk membantu modal usaha Pak Heru dan para tunanetra dhuafa lainnya yang membutuhkan juga bantuan kemanusiaan lainnya.