
Demi Uang Sepuluh Ribu Abah Terus Melangkah
terkumpul dari target Rp 60.000.000
Di sebuah gang kecil di pinggiran kota, tinggal seorang kakek bernama Abah Suhendi, lelaki renta berusia 60 tahun. Tubuhnya kurus, punggungnya membungkuk, dan langkahnya pelan, tapi setiap pagi Abah selalu terlihat berjalan menyusuri jalanan sambil membawa plastik lusuh berisi rokok eceran dan rongsokan yang ia kumpulkan dari tempat sampah dan pinggir jalan.

Sejak kecil, Abah Suhendi tidak bisa berbicara. Dunia baginya adalah sunyi, hanya dipenuhi suara angin, langkah kaki, dan bisikan hati yang ia simpan sendiri. Tak ada kata yang keluar dari bibir tuanya, tapi dari tatapan matanya orang tahu — Abah menyimpan ribuan cerita yang tak pernah sempat ia ucapkan.

Istrinya telah lama meninggal. Sejak kepergian sang istri, rumah kecil di ujung gang itu terasa makin sepi. Dindingnya lapuk, atapnya bocor. Setiap hujan turun, air menetes dari celah-celah genteng, membasahi lantai tanah yang dingin. Kadang banjir datang tanpa ampun, membuat Abah harus keluar rumah di tengah malam, menggigil menunggu hujan reda di bawah emperan toko.

Di dalam rumahnya, hanya ada satu keranjang kayu tua tempat Abah berbaring. Tak ada kasur, tak ada bantal empuk — hanya tikar usang dan selembar kain tipis yang menutupi tubuhnya di malam yang dingin.
Setiap hari, Abah berjalan berjam-jam keliling kampung. Ia menjual rokok eceran kepada tukang ojek, tukang becak, atau siapa pun yang kasihan padanya. Kadang orang memberinya koin seribu, kadang selembar dua ribu. Dalam sehari, kalau beruntung, ia bisa membawa pulang sepuluh ribu rupiah — cukup untuk membeli sedikit nasi dan air minum.

Namun di balik kesederhanaan dan kesunyian hidupnya, Abah Suhendi punya harapan yang luar biasa yaitu abah ingin sekali membenarkan rumah nya . Ia jarang sekali terlihat mengeluh. Setiap sore, ia duduk di depan rumahnya yang sempit, memandangi langit sore sambil tersenyum kecil. Mungkin di dalam hatinya ia sedang berbicara pada almarhum istrinya — tentang rindu yang tak pernah padam, tentang lelah yang tetap ia tanggung, dan tentang harapan kecil agar suatu hari nanti ia bisa bertemu lagi di tempat yang lebih tenang dan tak lagi banjir air mata.

Di mata orang-orang, Abah hanyalah kakek tua yang bisu dan miskin. Tapi bagi langit dan bumi yang menyaksikan langkahnya setiap hari, Abah Suhendi adalah pejuang sunyi — yang tetap bertahan meski dunia tak pernah benar-benar mendengarnya.
Disclaimer: dana yang terkumpul akan di gunakan oleh Abah Suhendi untuk kebutuhan sehari-hari,modal usaha,dan untuk mendukung penerima manfaat lainya di bawah naungan YAYASAN LENTERA PIJAR KEBAIKAN.
Demi Uang Sepuluh Ribu Abah Terus Melangkah
terkumpul dari target Rp 60.000.000
