
Di usia 100 tahun Lebih Abah Momong Masih Berjuang
terkumpul dari target Rp 60.000.000
Setiap pagi, saat langit masih menggigil oleh sisa embun malam, seorang kakek renta bernama Abah momong . Usianya telah melewati enam dasawarsa, yaitu 103 tahun menurut pengakuan nya,namun tubuhnya tetap dipaksa tegak, meski tulangnya sering mengaduh diam-diam. Ia bukanlah siapa-siapa di mata dunia—bukan tokoh, bukan pemilik warung, bukan pula pegawai pensiunan. Ia hanyalah pencari rongsokan. Seorang lelaki tua yang bersahabat dengan kardus basah, botol plastik kosong, dan kaleng penyok.
Abah momong tinggal berdua bersama sang istri, anak-anaknya yang sudah memiliki keluarga masing masing,Ia tidak pernah bercerita banyak soal masa lalu. Baginya, hari ini dan esok adalah hal paling penting. Setiap hari, dari pagi hingga senja bahkan malam, ia menyusuri gang-gang sempit, pasar tradisional, dan tempat sampah perumahan. Karung kecilnya menjadi saksi bisu perjuangan tanpa akhir.
Di tengah panas yang membakar kulit atau hujan yang merembes ke tulang, langkahnya tak pernah mundur. Ia tahu, jika ia tidak berjalan hari ini, maka besok perutnya akan keroncongan. Dengan sabar, ia kumpulkan plastik bekas, besi tua, kabel rusak, atau apapun yang bisa ditimbang di lapak pengepul. Kadang, jika beruntung, ia mendapat kardus besar atau logam yang cukup berat. Namun kebanyakan hari, hasilnya tak seberapa.
Lima belas ribu, kadang dua puluh ribu. Itulah rata-rata yang dibawanya pulang. Jumlah yang mungkin setara dengan harga secangkir kopi di kafe kota, namun bagi abah momong, itu adalah harapan hidup. Uangnya digunakan untuk membeli sebungkus nasi, sebotol air minum isi ulang, dan sisanya ditabung untuk membeli obat-obatan generik ketika tubuhnya mulai rewel.
Meski hidup dalam kesederhanaan yang sering terasa seperti ujian, Abah momong tidak pernah mengeluh. Ia justru kerap mengucap syukur. Baginya, selama tubuh masih bisa digerakkan, selama matahari masih bersinar dan kakinya masih kuat menapak jalanan, maka ia akan terus berjalan. Ia sering berkata, "Saya tidak ingin merepotkan siapa-siapa. Hidup itu
harus dijalani, bukan dikasihani."
Anak-anak di sekitar kampung memanggilnya "Kakek Rongsok", dan mereka kadang ikut membantunya mengambil botol plastik. Meski hidup keras, senyum Abah momong tak pernah hilang. Di balik wajah keriput dan topi lusuhnya, ada keteguhan yang menginspirasi: bahwa martabat tidak ditentukan oleh pekerjaan, melainkan oleh kemauan untuk terus bertahan dan bekerja keras dengan jujur.
Hari-hari mungkin tak menjanjikan kemewahan bagi Abah momong. Namun setiap sen yang ia kumpulkan, setiap langkah yang ia tapaki, adalah bukti nyata bahwa semangat tidak mengenal usia. Dalam sunyi dan lelah, Abah momong tetap melangkah, mencari sisa-sisa yang dibuang orang lain—dan menjadikannya bahan untuk tetap hidup. Bagi dunia, mungkin ia tak terlihat. Tapi di matanya sendiri, ia telah menang—melawan kenyataan dengan kehormatan.
Harapan abah saat inii inginn sekalii mempunyai usahaa nya yang hanya berdiam di rumah,agar bisa menyuapi istri nya dan tidak perlu berkeliling lagi.
Teman Berbagi, maukah kalian membantu meringankan beban yang di pinggul abah momong? Sekecil apapun bantuan dari kalian akan sangat berarti untuk abah momong.
Disclaimer: dana yang terkumpul akan di gunakan oleh abah Momong untuk kebutuhan sehari-hari,modal usaha,dan untuk mendukung penerima manfaat lainya di bawah naungan YAYASAN LENTERA PIJAR KEBAIKAN.

Di usia 100 tahun Lebih Abah Momong Masih Berjuang
terkumpul dari target Rp 60.000.000