
Lansia Berjuang Demi Uang 15 Ribu Rupiah
terkumpul dari target Rp 60.000.000
Di sudut kota yang hiruk pikuk dengan deru kendaraan dan langkah-langkah manusia yang tergesa-gesa,
ada satu sosok yang berjalan perlahan namun pasti. Seorang kakek renta dengan tubuh yang mulai
membungkuk, mengenakan topi lusuh dan baju yang pudar warnanya karena waktu dan peluh. Di
tangannya, sebuah karung goni besar tergantung di pundak, penuh dengan barang-barang bekas, botol
plastik, kardus, dan kaleng-kaleng kosong yang ia pungut dari jalanan, tempat sampah, dan gang-gang
sempit kota.
Namanya Abah Aan. Usianya telah melampaui enam puluh lima tahun. Setiap hari, sejak matahari baru
saja menggeliat dari balik peraduannya, Abah Aan sudah mulai melangkah. Ia berangkat tanpa banyak
suara dari rumah petak kecil di pinggiran kota, tempat ia tinggal bersama sang istri yang sakit lambung
dan anak-anaknya pergi merantau, sebagian bahkan tak lagi bisa dihubungi.
Dengan tongkat kayu di satu tangan dan karung di tangan lainnya, ia menyusuri trotoar dan lorong,
memeriksa setiap sudut kota yang mungkin menyimpan "emas" untuknya—bukan emas dalam arti
harfiah, melainkan barang rongsokan yang bisa ia jual ke pengepul dengan harga yang tak seberapa.
Kardus dihargai Rp2.000 per kilo, botol plastik hanya beberapa ratus perak, dan kaleng bekas lebih
murah lagi. Namun itulah yang menjadi sumber penghidupannya.
Setiap harinya, penghasilannya tak pernah lebih dari Rp10.000 hingga Rp15.000. Jumlah yang bahkan
tidak cukup untuk membeli makanan layak atau membayar obat-obatan untuk rematik yang sering
menyerang lututnya. Namun ia tak pernah mengeluh. "Rezeki itu bukan soal besar atau kecilnya,"
ujarnya suatu hari, "tapi soal bersyukur dan tetap mau berusaha."
Abah Aan punya prinsip yang tak pernah ia tinggalkan: selama tubuhnya masih bisa bergerak, ia akan
terus bekerja, tak ingin menjadi beban bagi siapa pun. Kadang, ia menyisihkan seribu atau dua ribu
rupiah dari hasil rongsokannya untuk membeli nasi bungkus kecil dan segelas teh hangat dari warung
kaki lima. Itu sudah cukup baginya. "Asal bisa makan, bisa tidur, itu sudah nikmat," katanya dengan
senyum tulus.
Meski hidupnya sederhana dan penghasilannya sangat kecil, ada kebesaran jiwa dalam diri Abah Aan
yang tak bisa diukur dengan uang. Di sekitar tempat tinggalnya, ia dikenal sebagai orang yang ringan
tangan. Sering membantu sesama tetangga dan di suruh apapun dia akan mau.
Hari-hari Abah Aan adalah cermin dari ketabahan dan keikhlasan. Ia bukan tokoh besar, bukan pula
pahlawan yang namanya tercatat di buku sejarah. Tapi ia adalah sosok nyata yang mengajarkan makna
kehidupan—tentang ketekunan, kesederhanaan, dan kekuatan hati yang tak lekang oleh waktu.
Langkahnya mungkin lambat, tapi semangatnya tak pernah padam. Ia percaya bahwa selama matahari
masih terbit dan malam masih datang, selalu ada harapan yang bisa digenggam—meski hanya dengan
tangan yang renta dan karung di pundak.
Abah Aan yang Sejak ber umur 12 tahun Putus Sekolah Karena ia Harus mencari uang Dengan
mengangkut bebatuan di pinggir sungai.
kini harapan abah hanya ingin Mempunyai Roda Agar ia mencari rongsokan tidak jalan kaki dan untuk
membahagiakan istrinya.
Teman Berbagi, maukah kalian membantu meringankan beban yang di pinggul abah Aan? Sekecil apapun
bantuan dari kalian akan sangat berarti untuk Abah Aan .
Disclaimer: dana yang terkumpul akan di gunakan oleh abah Aan untuk kebutuhan sehari-hari,modal
usaha,dan untuk mendukung penerima manfaat lainya di bawah naungan YAYASAN LENTERA PIJAR
KEBAIKAN

Lansia Berjuang Demi Uang 15 Ribu Rupiah
terkumpul dari target Rp 60.000.000