Di balik kesederhanaan hidupnya, Abah Undang, seorang lansia berusia 62 tahun, tetap berjuang menjajakan gulali tradisional dari pagi hingga jam tiga sore. Dengan senyum dan keceriaan kepada anak-anak yang ditemuinya, ia menawarkan gulali buatan sendiri meskipun sudah tak sepopuler dulu menggunakan tanggungan yang sudah usang. Setiap hari, Abah membawa beban seberat 20 kg di pundaknya demi sesuap nasi dan biaya sekolah anaknya yang masih duduk di bangku SMP.

 

 

Aktivitas Abah berjualan menyusuri beberapa sekolah dasar. Karena tubuhnya tak lagi sekuat dulu, kini ia hanya berpindah-pindah di sekitar lima sekolah saja. Sambil menunggu anak-anak pulang sekolah.

 

Bukan tanpa alasan Abah pergi ke kota dan meninggalkan istri serta anaknya di kampung. Keadaan ekonomi memaksa dirinya merantau demi mencari nafkah. Di kampung, penghasilan sulit didapat, dan anak semata wayangnya butuh biaya sekolah anaknya yang cukup besar. Walaupun kadang hanya bisa memberi sedikit uang untuk istrinya, Abah hanya bisa mengabari keluarganya lewat handphone, karena kadang tidak bisa pulang.

 

Setiap harinya, keuntungan yang diperoleh Abah hanya sekitar 30 ribu rupiah. Dari jumlah itu, sebagian disisihkan untuk membayar kontrakan seharga 400 ribu rupiah per bulan. Dengan kondisi serba terbatas, Abah tetap menjajakan gulalinya, dengan hangat dan ceria, untuk menyembunyikan rasa lelah dan lapar yang ia rasakan.

 

Bila ada modal, ia ingin membangun warung kecil di kampung, agar tak perlu lagi jauh dari keluarga. “Abah capek, Nak,” katanya lirih. Tapi demi masa depan anak, Abah rela menunda keinginannya untuk pulang, berharap suatu hari nanti, usaha kecil di kampung bisa jadi jalan keluar dari penatnya kota.

 

#TemanBerbagi, di masa tuanya Abah Undang belum bisa merasakan kesejahteraan, sebaliknya beliau masih harus berjuang mencari nafkah dengan tubuhnya yang sudah renta itu. Jika ada modal Abah ingin sekali berjualan dan memiliki usaha sendiri di rumahnya. Yuk bantu perjuangan Abah Undang meraih kesejahteraan di masa tuanya!!